Di tanggal 28 April setiap tahunnya, ILO (International Labor Organization) mencanangkan hari Keselamatan dan Kesehatan Kerja di seluruh dunia. Tema yang diangkat untuk tahun 2018 ini berkaitan dengan kampanye untuk peningkatan implementasi K3 pada pekerja muda (young worker) dan penghapusan pekerja anak (child labor). Di Indonesia, pekerja anak masih marak dipekerjakan oleh Perusahaan-Perusahaan baik sektor formal maupun informal. Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan memiliki program Indonesia bebas pekerja anak yang ditargetkan tercapai di tahun 2022. Tidak hanya merampas masa pertumbuhan dan kebebasan anak-anak untuk menikmati masa belajarnya, anak-anak di bawah umur juga lebih rentan terpapar bahaya dan risiko keselamatan dan kesehatan di tempat kerja.
Paparan bahaya keselamatan dan kesehatan (K3) di tempat kerja yang memajan pekerja anak dapat berupa environmental agents, seperti bahaya kimia dan fisika. Efek toksikologi pada anak untuk pajanan toksik seperti timbal, silika maupun faktor fisika seperti kebisingan, getaran, radiasi dan faktor berbahaya lainnya, berbeda dengan pekerja dewasa. Salah satu contoh penelitian yang dipublikasikan oleh ILO, diketahui beberapa penelitian menyebutkan bahwa anak-anak cenderung untuk menyerap jumlah timbal yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Tidak berbeda pula untuk faktor fisika, diketahui bahwa pekerja anak dan usia muda lebih rentan untuk mengalami penurunan daya dengar akibat bising dari mesin produksi. Nilai Ambang Batas (NAB) yang dipersyaratkan baik yang belaku secara nasional maupun internasional dirasa masih kurang untuk memproteksi pekerja anak. Hal ini disebabkan, karena penelitian yang dilakukan untuk menentukan NAB tidak spesifik untuk melindungi pekerja anak.
Bahaya keselamatan dan kesehatan kerja tidak hanya bersumber dari faktor lingkungan kerja, tetapi juga keterbatasan fisik pekerja anak atau disebut juga faktor ergonomi. Desain peralatan, mesin, ataupun area kerja yang tidak sesuai dengan antropometri anak-anak di bawah umur dapat meningkatkan risiko gangguan Musculoskeletal Disorders. World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa (1) penglihatan anak-anak lebih rentan untuk rusak dalam waktu 5 – 6 tahun pada saat bekerja dengan kawat halus, membordir karpet, maupun bekerja untuk merakit serat-serat halus. (2) anak-anak yang bekerja dengan menggunakan peralatan (tools) yang didesain untuk orang dewasa berisiko lebih besar untuk mengalami fatigue dan cedera. (3) anak-anak yang bekerja dengan menggunakan kursi kerja yang didesain untuk orang dewasa akan lebih berisiko mengalami gangguan Musculoskeletal. (4) ketidakcocokan alat pelindung diri di tempat kerja untuk anak yang tersedia di tempat kerja, membuat pekerja anak tidak terproteksi dengan maksimal (5) pekerja di usia muda juga memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap tekanan udara panas dibandingkan dengan orang dewasa.
Dari aspek psikososial di tempat kerja, diketahui bahwa pekerja anak memiliki respon yang berbeda terhadap stressor di tempat kerja. Hal ini dapat disebabkan karena pada usia anak-anak, dianggap belum matang secara emosional. Sebagian besar anak-anak yang bekerja di usia dini cenderung tidak dapat mengekspresikan perasaannya. Kesempatan untuk dapat bermain dan mengenyam pendidikan selayaknya anak-anak lain tidak didapatkan oleh pekerja anak. Latar belakang ekonomi yang pada akhirnya memaksa anak-anak untuk bekerja, menjadi sumber stressor yang dapat berakibat pada trauma secara psikis maupun fisik di tempat kerja. ILO menyebutkan bahwa kecelakaan yang terjadi di tempat kerja yang dialami pekerja anak disebabkan oleh salah satu faktor, yaitu faktor psikososial.
Isu pekerja anak merupakan isu global yang masih menjadi masalah dunia hingga saat ini, termasuk di Indonesia. Jika kita melihat dari sudut pandang K3, kerugian akan maraknya pekerja anak di tempat kerja bukan hanya dari segi sosial, ekonomi, violence, dan perkembangan anak, tetapi juga aspek keselamatan dan penyakit akibat kerja yang ditimbulkan. Minimnya riset terkait dengan pekerja anak yang dilihat dari aspek K3 pada instansi K3 juga menjadikan hambatan untuk menentukan arah kebijakan. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan peran serta instansi Pemerintah di bidang K3 untuk fokus terhadap pekerja anak. Selain itu, penghapusan pekerja anak mutlak harus dilaksanakan dengan serius dan menggandeng pihak-pihak terkait, baik Pemerintah, Asosiasi Pengusaha, LSM, maupun edukasi terhadap keluarga anak dan lingkungan sekitarnya.
Source :
The Health Impact of Child Labor in Developing Countries: Evidence From Cross-Country Data
Am J Public Health. 2007 February; 97(2): 271–275.
http://www.ilo.org/moscow/areas-of-work/occupational-safety-and-health/WCMS_305902/lang–en/index.htm
International Labour Organization “Your health and safety at work : HEALTH AND SAFETY FOR WOMEN AND CHILDREN”